Sabtu, 18 Februari 2012

Budaya yang "awet muda"

tulisan untuk lomba "sayembara IRI"

PENDAHULUAN
Benar memang yang sebagian orang katakan bahwa sangat menyenangkan apabila hobby yang sering kita lakukan bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan. Itulah yang saya dapatkan sekarang, hobby saya untuk menonton film membuahkan inspirasi bagi tulisan ini yang saya peruntukkan untuk lomba sayembara menulis oleh IRI (Independent Research Institute). Film tersebut adalah film “Tjoet Nja Dhien” (penulisan berdasarkan cover film), film yang diproduksi tahun 1986 dan langsung dilakukan pembuatannya di tanah Aceh. Film tersebut diperankan sangat luar biasa (menurut saya) oleh Christine Hakim yang berperan menjadi Tjoet Nja Dhien, dan ada beberapa peran lagi yang sangat mendukung penyampaian cerita itu sendiri. Data yang saya dapatkan dari sinematekindonesia.com, pada tahun 1988 film ini membawa pulang 8 piala citra FFI (Festival Film Indonesia) termasuk Christine Hakim yang mendapat piala citra untuk ke-enam kalinya melalui film ini dalam kategori Pemeran Utama Wanita Terbaik, dan menobatkannya sebagai pemain yang paling banyak merebut piala citra.
Inspirasi yang saya dapatkan adalah tentang semangat juang yang dipunyai oleh Tjoet Nja Dhien dan bala tentaranya. Walaupun itu hanya sebuah film yang belum tentu sama persis dengan keadaan aslinya, tapi penjiwaan yang dilakukan Christine Hakim sangat membantu untuk masuk ke dalam suasana pada saat itu, yang mengisahkan perjuangan tanpa ampun untuk mendapatkan hak seutuhnya atas tanah yang nantinya akan menjadi panduan bagi anak cucu untuk mencari segenggam warisan budaya yang tertancap di tanah Serambi Mekkah, Aceh pusaka budaya. Seorang wanita yang ditinggal mati suami tercinta, yang ikut menjadi korban kebiadaban musuh, harus tetap bertahan dan berjuang demi agama dan tanah leluhur dari para kafir yang tertarik harta alami yang tertanam di tanah Aceh, ditambah lagi tugas wanita itu yang tidak jauh penting adalah menjaga semangat juang bala tentaranya untuk tidak jatuh ke pelukan musuh yang senantiasa membisikkan rayuan-rayuan indah atas harta dan kebebasan yang ternyata semu belaka. Saya pribadi sangat mengagumi sosok yang luar biasa, Tjoet Nja Dhien. Semoga beliau ditempatkan pada tempat yang terbaik di sisi-Nya. Amin.

Dari sepenggal kisah luar biasa tersebut, saya tertarik untuk membuat tulisan yang kiranya dapat menjadi jawaban bagi permasalahan sosial di kalangan muda-mudi yang seakan sangat renta atas gangguan budaya asing. Keadaan dimana kita yang kaya akan budaya, harus malu seakan kalah saing dari canggihnya peradaban yang dibangun diatas nilai keuntungan. Pahit memang untuk mengetahui bahwa kita mencoba membangun dinding pada perubahan dunia, namun sebaiknya kita tidak masuk secara jauh di budaya yang belum tentu kita bisa ikuti seluruh peraturan didalamnya. Indonesia memang sangat kaya akan budaya termasuk Aceh, dan itu merupakan “jualan” utama atas pariwisata dari daerah kita yang tentunya akan berdampak bagi kelestarian ekonomi masyarakat Aceh ke depan.

PERMASALAHAN
Mungkin bukan sesuatu yang sulit untuk menancapkan kata “Aceh” di pikiran orang-orang luar. Tentu yang kita inginkan ketika nama Aceh disebutkan, yang terkenang adalah kenangan-kenangan indah akan nikmat alam, budaya minum kopi yang sudah turun temurun, kota-kota yang menjunjung tinggi nilai Islam secara kaffah dan banyak lagi keunikan lain yang bisa mencitrakan Aceh sebagai keindahan dan keramahan. Namun bila kita masuk lebih jauh lagi, terdapat permasalahan tentang bagaimana alam yang indah bisa menjadi kenyamanan dan kemudahan, bagaimana kopi yang nikmat bisa semakin melebarkan sayap di mata dunia, dan bagaimana masyarakat Aceh bisa benar-benar menerima dan mengamalkan Islam sebagai ciri khas Aceh.
Kebiasaan akan membentuk budaya, saya harus setuju akan hal itu. Mari kita sedikit ber-teori, dari wikipedia.com “Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni ”. Dari pengertian tersebut, jelaslah bahwa budaya memegang peran penting dimana ia menjadi identitas dari satu generasi, saya dapat membahasakan bahwa suatu daerah dikenal karena mereka berbeda dari yang lainnya, dan budaya adalah pembedanya. Karena itulah, budaya menjadi suatu yang penting untuk dipelajari pada saat ini, kenapa dipelajari? Karena budaya telah “lapuk di makan waktu”, mungkin ini masalah yang begitu klasik bahwa budaya asli telah “kalah” oleh budaya asing.
Masalah lain mungkin juga hadir dari banyaknya wisatawan yang hadir di Aceh dengan segala tingkah laku yang biasa dilakukan di negerinya. Saya teringat beberapa hari yang lalu (januari 2012), saya sedang menunggu lampu merah “ber-metabolisme” menjadi lampu hijau di seputaran Simpang Lima, Banda Aceh. Saya sangat terkejut ketika ada hal yang tidak biasa mengusik pandangan saya, yaitu ada 2 orang turis asing yang ingin menyebrang jalan. Yang membuat saya agak tersinggung, adalah turis asing yang wanita menggunakan kaus kutang tanpa lengan (saya tidak tahu, harus menyebut baju model apa) dan dia berjalan dengan sangat percaya diri di tengah kota, yang jam saat itu memang “jam sibuk”. Terlepas dari indah atau tidak nya tubuh turis wanita itu (saya tidak akan membahasnya), tapi saya merasa tidak terbiasa melihat langsung wanita ”setengah telanjang” berjalan di depan umum. Mungkin tidak menjadi masalah apabila saya melihatnya di luar Aceh, tapi kali ini saya masih berada di Aceh. Budaya kita, apa para turis tahu tentang itu?
Tidak mungkin kita menyalahkan turis tersebut, karena menjadi salah satu tugas para penyelenggara destinasi untuk menginformasikan apa yang boleh dan tidak boleh bila sedang berada di Aceh. Bila menyalahkan para turis, itu akan menjadi boomerang bagi kita, karena akan menjadi suatu masalah baru. Apabila turis tersebut kembali ke negaranya, dan ia menceritakan pengalaman berwisata di Aceh yang dihiasai oleh insiden ditangkapnya ia oleh petugas WH (Wilayatuh Hisbah) karena berjalan dengan pakaian yang “aneh” di jalan-jalan umum, yang sebenarnya itu menjadi hal yang biasa di negaranya. Dan timbullah satu citra buruk tentang Aceh di mata masyarakat asing, bahwa Aceh tidak menghargai tamu-tamunya.
Saya tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang turis asing yang berwisata ke Aceh. Dari website BPS Aceh (aceh.bps.go.id), saya mendapatkan data yang diambil dari kantor Imigrasi Banda Aceh, tentang negara yang paling banyak mengirimkan turisnya ke Banda Aceh periode Januari-Juni 2011, dan ternyata yang paling banyak mengirimkan turisnya adalah Malaysia (3.759 orang) disusul Jerman (744 orang) dan China (516 orang). Memang data tersebut belum begitu bisa menggambarkan keadaan saat ini, karena periode yang sudah cukup lama dan hanya menghitung keadaan di Banda Aceh. Tapi setidaknya itu bisa sedikit menggambarkan mengenai destinasi Aceh.
Dari data tersebut, Malaysia yang cenderung berbudaya sama dengan kita menjadi “customer” utama bagi destinasi Aceh. Budaya Malaysia yang mengedepankan melayu, tidak jauh berbeda dengan Aceh. Namun mengapa nilai budaya kita tetap saja hilang? Ini membuktikan bahwa turis asing tidak begitu mempengaruhi kebiasaan masyarakat di Aceh. Saya jadi melihat ada faktor lain, yaitu kemudahan untuk menangkap informasi global melalui media televisi dan internet. Tapi media tidak selamanya salah, buktinya saya sangat bersemangat mengkaji tentang budaya Aceh setelah menonton film Tjoet Nja Dhien.
Tidak bisa dipungkiri, manusia butuh hiburan. Tapi baiknya kita tahu bahwa hiburan memanglah sebuah hiburan, dan hiburan jangan mengganggu kehidupan. Kehidupan yang asli adalah kehidupan yang kita jalani, dari bangun tidur hingga tidur kembali. Sedikit susah membangunkan masyarakat dari mimpi tentang kenikmatan, karena masyarakat membentuk sebuah pola pikir bahwa budaya tidak berisi kenikmatan tapi hanya berisi tuntutan yang menjadi paksaan untuk dilakukan. Juga karena sedikit kesenangan yang akan dihasilkan dari mempelajari budaya dibandingkan mimpi-mimpi dunia luar yang lebih menjajinkan kenikmatan (curhat).

SOLUSI
Bila kita kembali pada film Tjoet Nja Dhien, mengapa saya mejadi tergugah untuk menulis ini? Karena saya menonton film tersebut. Dan saya menjadi sadar bahwa kehidupan saya sudah begitu jauh dari budaya nenek moyang saya, dan pembenahan harus segera dilakukan. Alangkah bahagianya apabila film tersebut juga dapat ditonton oleh masyarakat luas dan diresapi ceritanya. Bukan maksud saya untuk membuat satu acara nonton bareng, tapi dari cara tersebut bisa menumbuhkan kembali rasa cinta terhadap tanah nenek moyang yang harus kita perjuangkan “originalitas-nya” tidak peduli seberapa besar tuntutan perubahan dunia saat ini.
Budaya dapat menyadarkan kita bahwa kita ini berharga dan berguna. Selain tentunya sebagai identitas kita, budaya dapat melengkapi kemajuan ekonomi yang berkembang baik belakangan ini di Aceh, khususnya Banda Aceh. Budaya juga dapat menjadi suatu alat untuk memanjukan ekonomi, hal ini tentu sudah disadari penuh oleh golongan atas yang memangku tugas mensejahterakan rakyat. Budaya menjadi sangat berharga ketika kita berada di luar negeri, jangan malu untuk menunjukkan kebudayaan asli kita bahwa kita ini kaya.
Budaya harus dibuat menarik. Janganlah membuat budaya menjadi “tua” yang akibatnya generasi muda menjadi enggan untuk mendekat kepadanya. Pola pikir kreatif harus terus digali untuk menjadikan budaya semakin menarik, namun jangan sampai menghilangkan identitas asli dari budaya itu. Saya rasa Aceh saat ini harus menjaga semangat kemajuan mengenai kebudayaan yang semakin berkembang baik dengan banyaknya promosi wisata. Ke depan, semangat memajukan budaya harus banyak melibatkan kaum muda, karena ini berhubungan langsung dengan mereka yang “langganan” menjadi korban budaya asing, dan semua ini akan lebih menantang karena perkembangan global semakin dalam memasuki ruang gerak kita. Jadi, para laskar muda Aceh, mari tarik diri kita untuk melihat bagaimana Aceh saat ini serta persiapkan diri untuk melihat Aceh masa depan dan tetap mengedepankan budaya asli di manapun kita berada. Para laskar muda Aceh, hadirkanlah diri anda untuk mewujudkan masyarakat Aceh yang adil dan sejahtera. Bagaimana memulainya? Mudah, lestarikanlah budaya keramahan kita… mari tersenyum .

Wassalam.

Senin, 06 Februari 2012

Keikhlasan Membentuk Kualitas

Sebelumnya, tulisan ini saya peruntukkan untuk Lomba Essay "DataPrint", daripada sia-sia tersimpan manis di laptop,saya share di blog aja... HOPE GET A USEFULL, ANYONE... :)

Ada banyak hal yang saya ingin utarakan sebagai mahasiswa yang dituntut aktif untuk bersuara bagi fungsi kontrol sosial dan kontrol bagi kebijakan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Namun kami juga dituntut untuk bertanggung jawab terhadap satu hal yang bernama “cita-cita”. Yang menjadi satu nilai khusus di mata para orang tua, yang akan menjadi kebahagiaan tak terduga di mata diri sendiri maupun di mata orang tua. Ada kalanya sebagai mahasiswa, kita harus bertindak aktif menghukum keadaan sosial yang tidak berpihak pada yang kecil, namun ada kalanya juga mahasiswa harus terpaku di dalam ruangan kuliah, mendengar satu demi satu kata-kata yang berisi mimpi indah masa depan.
Kualitas pendidikan sangat perlu dihargai sebagai sesuatu yang penting di saat kita menapaki langkah menuju kelulusan tertinggi yang semua orang ingin capai. Kualitas pendidikan akan sangat berpengaruh pada perjalanan seseorang dalam berpendidikan, diantara faktor-faktor yang begitu layak untuk dibahas disini, ada satu faktor yang saya rasa lebih mengena di dalam pembentukan kualitas pendidikan, yaitu Keikhlasan. Mungkin terlihat saya sedang di luar jalur, tapi bisa saya ilustrasikan bahwa tanpa adanya keikhlasan dari petinggi di suatu organisasi pendidikan untuk memajukan dan memperbaiki kualitas pendidikan di organisasi tersebut, maka tidak akan tercipta suatu kualitas yang baik dari pendidikannya. Bila kita melihat keadaan sebaliknya, dari segi siswa atau mahasiswa juga harus menerima dengan ikhlas setiap kebijakan dan peraturan bagi tercapainya suatu kualitas. Perlu diketahui bahwa tidak ada peraturan yang membawa kepada keburukan. Peraturan dibuat karena ada hal yang menyimpang dan perlu kembali diluruskan, dan peraturanlah yang akan menghadirkan kualitas.
Faktor kualitas pendidikan menurut saya sangat banyak, disamping prasarana fisik yang harus mendukung, juga diperlukan tenaga-tenaga pengajar yang bekerja dengan “hati”. Pengajar harus tahu untuk apa ia mengajar dan apa tujuan ia mengajar. Banyak saya temukan bahwa para pengajar, baik itu dosen ataupun guru, menjadikan mahasiswa atau siswanya hanya sebagai sarana untuk mendapatkan materi, dan akhir bulan adalah hal yang menyenangkan bagi sebagian orang ini. Faktor lain, bisa dilihat dari kualitas dan kuantitas penerima materi, dalam hal ini mahasiswa atau pelajar. Banyaknya siswa di satu ruangan akan berpengaruh terhadap kualitas belajar mengajar di dalam kelas. Lalu kualitas moral siswa yang buruk juga akan mempengaruhi prilaku rata-rata siswa di dalam kelas, dan akan memberikan citra buruk bagi kualitas pendidikan. Pencitraan menjadi satu hal penting di negeri ini.
Bagi saya, definisi hanya berisi kata-kata umum yang belum tentu menyentuh substansi. Bila menurunkan definisi dari kualitas pendidikan, saya akan sedikit menarik dari pengalaman. Kualitas pendidikan yang baik adalah bentuk harmonisasi dari perjalanan karier pendidikan yang membentuk suatu prestasi sesuai kategori yang hanya dapat dinilai oleh masing-masing pribadi. Sangat menarik ketika kualitas pendidikan yang baik dimeratakan dan dibuat suatu kewajiban bagi pendidikan Indonesia yang terus kalah saing oleh hiburan-hiburan yang sifatnya semu.

M. Fauzan Nur