Sabtu, 23 Juli 2011

Ketika Cinta Beasiswa

Jumat,22 Juli 2011

Oke, pertama kali kata terima kasih aku paketkan dengan sepucuk bunga mawar kepada pemberi ide untuk tulisan ini, dia adalah kawan kampus aku, Dila. Add aja Facebooknya… Fara Dilla, karena anaknya lumayan manis lah (senang kali ke dipuji2 dil?! BAYAR!!!)

Pagi tadi, kami serombongan sedang mengurus tahap-tahap terakhir untuk pengurusan beasiswa PEMDA. Menurut ku ini adalah beasiswa ter-repot yang pernah aku ikuti, kenapa?? Informasi untuk beasiswa ini saja dikeluarkan di Koran dan syaratnya pun lumayan banyak, walaupun tidak susah dalam mengurus syarat-syarat yang diminta, tapi TETAP uang sana sini juga… (Pak SBY!!!! Helep!). Dan ditambah lagi, karena ini semua tidak ada informasi yang pasti selain dari Koran, jadi banyak sekali kabar-kabar angin yang menjurus ke kata “benar juga ya…”. Syarat pun akhirnya bertambah!

Tapi, Alhamdulillah… hari ini semuanya sudah selesai, walaupun kami kumpul di saat-saat mau tutup (jam 12 siang), tapi yang penting berkas kami, specially punya Aku udah masuk dengan nomor 1795. BAYANGKAAN! Hampir 1800 orang yang sudah mendaftar… dan pendaftaran masih dibuka terus sampai sebulan lebih ke depan… dan terdengar kabar panitia menargetkan 5000 berkas akan masuk untuk beasiswa kali ini. Yang aku pikirkan hanya satu, BAGAIMANA ITU TANGAN PARA PANITIA MENYORTIR SATU PER SATU BERKAS??? GEMPOR-GEMPOR LAH TU TANGAN. De eL

Ada hal yang menarik dari setiap pengurusan beasiswa seperti ini, baik itu beasiswa yang terikat hanya sebatas internal universitas masing-masing ataupun cakupannya lebih luas seperti yang terjadi pada beasiswa Pemda kali ini. Kenapa begitu banyak orang yang mau capek-capek mengurus beasiswa seperti ini, apa mereka kurang uang makan atau mereka butuh tambahan dana untuk mas kawin? Ya, untuk alasan kedua, aku rasa aku juga akan mengajukan proposal kepada pemerintah untuk hal itu (mahalnya anak gadis orang… -.-). Tapi aku juga lihat, tidak semua yang mengurus beasiswa atau bantuan dana apapun adalah anak kurang mampu, sebenarnya sah-sah saja, asalkan syaratnya tidak mencatumkan “kamu harus anak kurang mampu” aku rasa hati harus bermain kali itu, yang bukan hak kita… lebih baik mundur (Brimob bangeuuudhh).

Jujur saja, aku mulai jengah dengan pertanyaan kawan-kawanku tentang kenapa aku selalu hyperactive dengan yang namanya Beasiswa. Mungkin dipikiran mereka aku rakus sekali dengan uang dan sedang berusaha untuk mengumpulkan dana untuk naik haji… padahal tidak begitu juga! Ini ya, ku katakan/tuliskan bahwa aku selalu mengurus beasiswa karena aku butuh AMUNISI untuk masa depan ku, itulah alasan ku yang sangat utama!!! Amunisi? Ya, amunisi. Aku merasa tidak pantas terus-terusan mengadah tangan kepada orang tua walaupun orang tuaku se-kaya apapun, rasanya tidak ada gunanya sama sekali kita sebagai anaknya yang hanya mengadah tangan kepada mereka. Aku tidak punya pekerjaan dan sekolahku masih akan terus membutuhkan dana. Di tambah lagi, umur orang tua yang sudah beranjak setengah abad yang membuat mereka akan cepat merasa letih di aktivitasnya… its touching!

Mungkin sebagian kalian tidak sependapat denganku, tapi itu bukan urusan ku… ini kan blog aku! (SUMPAH, INI TIDAK PENTING). Mungkin ini juga alasan anak-anak dibawah ini yang rela berdesak-desakan demi amunisi yang mereka perlukan ataupun alasan-alasan lain yang menurut mereka sangat urgent untuk di-indahkan… I’m with you, friend…

(nampak ga begitu rame, karena sebagian udah di "usir" keluar sama petugasnya)

Uang adalah hal yang tidak begitu pasti kegunaannya bila kita telah banyak memilikinya, tapi coba kita bandingkan dengan orang yang jarang memegang uang, mereka selalu mengeluarkan uang untuk hal-hal yang pasti dan jelas untuk tujuan apa uang itu dikeluarkan (sok tahu). Orang tua mungkin telah banyak mempersiapkan dana untuk sekolah kita, dan itu menjadi bonus bagi kita, untung-untung lagi uangnya bisa digunakan untuk sedekah kepada yang berhak… oohh, nikmatnya hidup bila begitu… ^_^

Aku tidak ingin munafik, dan kalian yang calon-calon penerima beasiswa juga jangan munafik, kalau uang itu sudah ada di tangan kita bisa membuat rencana awal berbalik arah. Pasti ada saja barang yang mau di beli… dasar manusia. Apapun itu, yang paling penting adalah meningkatkan prestasi belajar, karena segudang beasiswa tidak ada gunanya bila prestasi tidak naik juga… aku rasa, setiap orang tua pasti akan lebih senang kalau anaknya ber-prestasi dalam hal apapun yang ia lakukan, baik itu akademik maupun organisasi… ataupun yang sudah bekerja, yang akan memberikan input besar bagi orang tua berupa rasa bangga yang tak terkira melihat jerih payahnya selama ini berbuah manis, kita pun sebagai anaknya merasa berguna sebagai titipan ALLAH kepada orang tua kita.

Yang pasti aku tak ingin terlalu dalam memikirkan beasiswa itu tembus atau tidak. Fokus saja dalam menjalani sisa waktu di dunia dan berfikir positif dalam setiap usaha yang kita lakukan, juga menerima dengan lapangnya hati bila beasiswa itu ternyata tidak kita dapatkan. Kita ini tidak terlalu membutuhkan uang untuk kehidupan yang abadi tapi kita membutuhkan uang untuk sarana dalam menjalankan hidup yang sementara, so… kalau dapat beasiswa nanti, sisihkan sedikitnya 2,5% untuk yang berhak… sebagai rasa syukur lah atas rezeki yang Diberi-Nya. Dan terakhir, selamat beribadah di bulan Ramadan (untuk semuanya mohon maaf ya atas salah aku sama kalian selama ini, loph yu ol!)



Oya, ngomong2 kok beasiswa kita ga tembus, sakit juga ya… (Tetap.. -,-)

Minggu, 03 Juli 2011

Ayah, seorang Megapower

…ZONA PUISI….

Rasa sayang yang lain yang di beri
Senyuman selalu menjadi obat mujarab
Walaupun suatu kadang harus berperang
Melawan kumis tebal untuk melihat senyum terbaik itu

Berperasaaanku untuk selalu di dekatnya
Aku terpisah oleh rasa benci bila dia ku gapai
Dia mungkin saja beku oleh hati
Hati yang membuatnya selalu benci akan diri sendiri

Disini aku hanya mewakili
Sejuta umat negri yang sangat mencintai
Suatu sosok simbolik yang berjuang meraih mimpi
Kadang hatinya merintih tapi tak bisa diberi

Aku begitu mencintai yang satu ini
Cinta ini mungkin terlalu tabu…
Tapi, kadang aku harus takut
Cinta Tuhan harus Memanggilnya pergi

Aku takut… takut diri ini goyah
Ketika melihat senyuman itu sudah tak bernyawa lagi
Iman ku harus menjawab
Bahwa dia bukan milikku…

Ayah… ku sebut namamu di sini
Aku ingin tangisanku lebur oleh karang
Entah apa yang terjadi dalam tulisan ini
Aku tak bisa melihat pasti kalau ini sebuah tanda terima kasih…

Ayah…
Setiap marahmu adalah kebaikan
Setiap senyummu adalah ketenangan
Walau sulit untuk menggapaimu, tapi aku ingin kau tahu
Apapun dirimu, engkau tetap Ayahku….

Anakmu,
Muhammad Fauzan Nur.

(oya, ini bukan gambar aku dan ayahku, hanya kiasan ayah dan anak yang bahagia)